Penulis:
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Agama
Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan
menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat,
dalam kewajiban bertauhid kepada Allah, menyempurnakan keimanan, dalam pahala
dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.
Allah
Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia
orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikitpun” (QS an-Nisaa’:124).
Dalam
ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di
dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat)
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS
an-Nahl:97)[1].
Sebagaimana
Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan
hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka[2]. Syaikh
Shaleh al-Fauzan berkata, “Wanita muslimah memiliki kedudukan (yang agung)
dalam Islam, sehingga disandarkan kepadanya banyak tugas (yang mulia dalam
Islam). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3], bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam kutbah beliau di Arafah (ketika
haji wada’)[4]. Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan
perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu[5].
Tugas
dan peran penting wanita
Agungnya
tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik
pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang
baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat
dan umat Islam. Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya kaum wanita memiliki
peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki (kondisi) masyarakat, hal
ini dikarenakan (upaya) memperbaiki (kondisi) masyarakat itu ditempuh dari dua
sisi:
-
Yang pertama: perbaikan (kondisi) di luar (rumah), yang dilakukan di pasar,
mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar (rumah). Yang perbaikan ini didominasi
oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar
(rumah).
-
Yang kedua: perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di
dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena
merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala
kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ
وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).
Oleh
karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan: bahwa sesungguhnya
kebaikan separuh atau bahkan lebih dari (jumlah) masyarakat disandarkan kepada
kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:
1.
Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari
laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita,
sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita memiliki peran yang sangat
besar dalam memperbaiki (kondisi) masyarakat.
2.
Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, yang ini
semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya) memperbaiki
masyarakat[6]. Makna
inilah yang diungkapkan seorang penyair dalam bait syairnya:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Ibu
adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti
kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]
Bagaimana
seorang wanita mempersiapkan dirinya agar menjadi pendidik yang baik bagi
anak-anaknya?
Agar
seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan
dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:
1.
Berusaha memperbaiki diri sendiri.
Faktor
ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya
menjadi orang yang baik, kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut
dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:
فاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ
“Sesuatu
yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa”[8].
Maka
kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menetukan keberhasilannya dalam
mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para ulama sangat
menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai
pendidik dalam agama.
Dalam
sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya
ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai
ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu”[9]. Faktor
penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para
sahabat Nabi menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan
agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah Nabi yang
terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala, yaitu Nabi kita
Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang
diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
{وكيف تكفرون وأنتم تتلى عليكم آيات الله وفيكم رسوله}
“Bagaimana
mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai)
menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya
pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali
‘Imraan:101).
Contoh
lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan
dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil
Hasan Al Bashri[10], ketika Khalid bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri
kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang
paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya,
paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan
maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar
penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu),
bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang
seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13]. Oleh
karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’[14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang
disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka
Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa
keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak
lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu
jika keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam
hati (orang yang mendengarnya)” [15].
2.
Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak.
Faktor
ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, yang perlu kami
jelaskan tersendiri karena pentingnya.
Menampilkan
teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk
metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan
bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung
terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[16].
Hal
ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang
terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta
bersegera dalam kebaikan[17]. Oleh
karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan
kisah-kisah para Nabi yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan
mereka dalam mendakwahkan agama Allah Ta’ala, untuk meneguhkan hati Rasululah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengambil teladan yang baik dari mereka[18]. Allah Ta’ala berfirman,
{وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك، وجاءك
في هذه الحق وموعظة وذكرى للمؤمنين}
“Dan
semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS
Hud:120).
Syaikh
Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam
membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata,
“Jika
seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup
aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan
yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di
luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan
lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang
berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada)
penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan
hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang
menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa
malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[19]. Sehubungan
dengan hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf
yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[20]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau
berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim
al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku
menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan
sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di
mata mereka”[21].
3.
Memilih metode pendidikan yang baik bagi anak
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan)
pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah
Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh
metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan
urusannya (dalam mendidik anak), Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam
(semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[22].
Termasuk
metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini
melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, sebelum mereka
mencapai usia dewasa, agar mereka terbiasa dalam ketaatan.
Imam
Ibnu Hajar al-’Asqalani ketika menjelaskan makna hadits yang shahih ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali memakan kurma
sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih kecil[23], beliau menyebutkan di antara kandungan
hadits ini adalah: bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka
dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan
sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang
diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat,
agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[24]. Syaikh
Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk (pembinaan) awal yang diharamkan (dalam Islam)
adalah memakaikan pada anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat, karena
ini semua menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut
(sampai dewasa), padahal pakaian tersebut menyerupai (pakaian orang-orang
kafir), menampakkan aurat dan merusak kehormatan”[25].
Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin ketika ditanya: apakah diperbolehkan bagi anak
kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang
menampakkan pahanya? Beliau menjawab: “Sudah diketahui bahwa anak kecil yang
umurnya dibawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi
auratnya. Akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek
dan menampakkan aurat (seperti) ini tentu akan membuat mereka mudah (terbiasa)
membuka aurat nantinya (setelah dewasa). Bahkan bisa jadi seorang anak (setelah
dewasa) tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa
menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak
(harus) dilarang memakai pakaian (seperti) ini, meskipun mereka masih kecil,
dan hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan jauh dari (pakaian) yang
dilarang (dalam agama)”[26].
Seorang
penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya:
Anak
kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari
orang tuanya
Sesungguhnya
di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh[27]
Senada
dengan syair di atas, ada pepatah arab yang mengatakan:
“Barangsiapa
yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tua pun dia akan terus
melakukannya”[28].
4.
Kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anak
Syaikh
Bakr Abu Zaid berkata: “Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Ta’ala) kepada
kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka
syariat (Islam) mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka
berdasarkan petunjuk (agama) Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal
yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban yang
pertama (diajarkan kepada mereka) adalah: menanamkan ideologi (tentang) iman
kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, hari akhirat, dan
mengimani takdir Allah yang baik dan buruk, juga memperkokoh (pemahaman) tauhid
yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka.
Kemudian mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, (selalu) menyuruh
mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan sifat-sifat bawaan mereka (yang
baik), menumbuhkan (pada) watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang
baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.
Inilah
rambu-rambu pendidikan (Islam) yang diketahui dalam agama ini secara pasti
(oleh setiap muslim), yang karena pentingnya sehingga para ulama menulis
kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…Bahkan (metode) pendidikan (seperti)
ini adalah termasuk petunjuk para Nabi dan bimbingan orang-orang yang bertakwa
(para ulama salaf)”[29]. Lebih
lanjut, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah
ini dalam ucapan beliau: “Anak-anak pada masa awal pertumbuhan mereka, yang
selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak
dan perhatian yang baik (kepada mereka), (tentu) mereka akan tumbuh dan
berkembang (dengan) baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak
(positif) yang besar bagi perbaikan masyarakat (muslim).
Oleh
karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan
perhatian (besar) kepada anaknya dan kepada (upaya) mendidiknya (dengan
pendidikan yang baik). Kalau dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka
dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas
urusan anak tersebut. Dan
tidak pantas seorang ibu (bersikap) pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada),
dengan mengatakan: “Orang lain sudah terbiasa melakukan (kesalahan dalam
masalah) ini dan aku tidak bisa merubah (keadaan ini)”. Karena
kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan (buruk ini), maka nantinya
tidak akan ada perbaikan, sebab (dalam) perbaikan mesti ada (upaya) merubah
yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah yang (sudah) baik menjadi
lebih baik (lagi), supaya semua keadaan kita (benar-benar) menjadi baik.
Di
samping itu, (sikap) pasrah pada kenyataan (buruk yang ada) adalah hal yang
tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah
mengutus Nabi kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang
masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan,
berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar,
(pada waktu itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lantas
(bersikap) pasrah (pada kenyataan yang ada), bahkan Allah sendiri tidak
mengizinkan beliau (bersikap) pasrah pada kenyataan (buruk tersebut). Allah
memerintahkan kepada beliau:
“Maka
sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu)
dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik” (QS
al-Hijr:94)”[30].
Penutup
Demikianlah,
semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para wanita
muslimah, agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam,
dan agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik
generasi muda Islam dan dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, 8 Syawwal 1430 H
Footnote :
[1] Lihat keterangan syaikh Bakr Abu Zaid dalam
kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 17).
[2] Lihat kitab “al-Mar’ah, baina takriimil Islam
wa da’aawat tahriir” (hal. 6).
[3] Misalnya dalam HSR al-Bukhari (no. 3153) dan
Muslim (no. 1468).
[4] Dalam HSR Muslim (no. 1218).
[5] Kitab “at-Tanbiihaat ‘ala ahkaamin
takhtashshu bil mu’minaat” (hal. 5).
[6] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’”
(hal. 3-4).
[7] Dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam
kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” (hal. 5).
[8] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab
“at-Tawassul, ‘anwaa’uhu wa ahkaamuhu” (hal. 74).
[9] Muqaddimah shahih Muslim (1/12).
[10] Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari
kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga
sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama,
biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin
nubala’” (4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan
bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab,
biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin
Marwan bin Al Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara
sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau
dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
[13] Siyaru a’laamin nubala’ (2/576).
[14] Beliau adalah Muhammad bin Waasi’ bin Jabir
bin Al Akhnas Al Azdi Al Bashri (wafat 123 H), seorang Imam dari kalangan
Tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits,
Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab “Shahih Muslim” . Biografi
beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (26/576) dan “Siyaru a’laamin nubala’”
(6/119).
[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/122).
[16] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi”
(hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[17] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di
dalam tafsir beliau (hal. 271).
[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[19] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).
[20] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits,
Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi
(wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[21] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[22] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh
al-’Utsaimiin (4/14).
[23] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no.
1069).
[24] Fathul Baari (3/355).
[25] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 10).
[26] Kitab “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal
muslimah (hal. 146).
[27] Kitab “Adabud dunya wad diin” (hal. 334).
[28] Dinukil dan dibenarkan oleh syaikh Muhammad
bin Shaleh al-’Utsaimin dalam “Majmu’atul as-ilah tahummul usratal muslimah
(hal. 43).
[29] Kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 122).
[30] Kitab “Daurul mar-ati fi ishlaahil mujtama’”
(hal. 14-15).
Sumber : [ www.muslim.or.id]