Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para
da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan
terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan.
Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur,
dan golongan ini banyak sekali.
2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai
berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.
3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit.
[Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22)]
Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim
selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang
lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang
bersifat khusus. Di antara sebab-sebab itu adalah:
1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan
cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun
berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj
(hal. 43-71)]
Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan
penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang
yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan
mengetahuinya. Di antara obat penyakit futur adalah:
1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan,
serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan
berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud
dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan
selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah
ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir
kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa
Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 88-119)]
Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang
sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah
terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian
kita berkata den......gan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah
pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali
sedikit.” Ingatlah wahai saudariku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup
membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala
dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Jangan putus asa, berusahalah
dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.
Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus
usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,…. setahun, dua tahun, dan
seterusnya…[Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279)]
Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i.
Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat.
Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh
karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap
istiqamah dalam kebenaran. Alangkah kerasnya hati kita..
Dan alangkah lemahnya hati kita dalam menempuh perjalanan (menuju Allah
Ta’ala), kecuali bagi orang yang dirahmati-Nya….
Sungguh kaum Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhu menangis karena takut kepada
Allah. Mata me...reka berlinang karena kerinduan dan kecintaan mereka kepada
Allah. Keadaan mereka seperti itu bukan karena mereka menghitung-hitung
berbagai sebab yang dapat memudahkan mereka untuk menangis karena takut kepada
Allah. Bukan pula mereka menuliskan penyebab-penyebab itu atau menghafalnya…
Aliran air mata orang-orang ikhlas tidak memerlukan semua itu…
(Hal ini karena) mereka telah merasakan manisnya iman. Mereka telah mengecapnya
dan merasakan kenikmatan menangis karena Allah tanpa menghitung-hitung
cara-caranya. Akan tetapi mereka telah mensucikan hati mereka, lalu Allah Yang
Maha Memberikan kenikmatan menganugrahkan hal itu kepada mereka. Allah Subhanahu
wa ta’ala membuka pintu-pintu keberkahandan keutamaan bagi mereka. Kita memohon
kepada Allah agar Dia membukakannya pula bagi kta…
Dengarkan salah seorang dari kaum salaf yang berkata, “Penduduk-penduduk dunia
yang miskin (kemiskinan iman) telah keluar dari nya kehidupan di dunia,
sementara itu mereka belum pernah merasakan menisnya kehidupan di dunia, dan
mereka tidak pernah mengecap sesuatu yag paling baik di dunia ini.” Yang ia
maksudkan adalah manisnya iman….
Dengarkan pula yang lainnya, ia berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak
mereka mengetahui apa yang kita punya (manisnya iman) niscaya mereka akan
memukul kita dengan pedang…”
Akan tetapi orang-orang seperti kita yang hatinya dalam keadaan sakit –kecuali
orang yang dirahmati Allah- disarankan untuk meneliti penyebab-penyebab
tertentu yang bisa membuat kita menangis karena takut kepada Allah… Dianjurkan
untuk meneliti berbagai obat yang dapat menyembuhkan hati yang telah dipenuhi
oleh berbagai penyakit, dan bahkan telah menjangkit dan menyebar di dalam
badan…
Namun tidak cukup dengan sekedar mengetahui hal-hal tertentu tanpa
mempraktekkannya. Jika ilmu tidak diamalkan, maka sungguh akan sama saja antara
orang baik dan orang jahat, dan antara orang mukmin dengan kafir….
Janganlah Anda membaca cara-cara dibawah ini jika Anda berminat untuk tidak
mengamalkannya. Sungguh Sufyan ats-Tsauri rahimahullahberkata, “Ibuku pernah
berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah engkau mempelajari suatu ilmu
kecuali jika engkau berniat untuk mengamalkannya. Jika engkau tidak (berminat
untuk mengamalkannya, maka ilmu itu hanya akan menjadi beban bagimu di hari
kiamat.’”
Maka marilah… [menelaah cara-cara di bawah ini] Dan mohonlah pertolongan
kepada Allah Ta’ala… [agar kita dapat mengamalkannya].
1. IKHLAS (MEMURNIKAN NIAT) KARENA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DALAM MENANGIS.
Banhkan dalam berkeinginan kuat untuk dapat menangis karena takut kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
beribadah... kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah Shallallahu wa sallam bersabda: “Maka barangsiapa di antara
mereka beramal dengan amal akhirat (dengan tujuan) untuk dunia semata, maka tidak
ada bagian baginya di Akhirat.” [Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
shahiih at-targhiib wat Tarhiib, kitab al-jihaad bab at-Targhiib fir Ribaathi
fii Sabiilillaahi ‘Azza wa jalla (II/57)]
Bertanyalah kepada diri sendiri wahai hamba Allah, “Mengapa engkau menangis?
Mengapa engkau ingin menangis? Apakah tujuanmu mengharapkan Wajah Allah Ta’ala?
Ataukah supaya manusia berkata tentangmu: ‘Ia seorang yang suka menangis…
seorang yang bertakwa… seorang yang khusyu’? Apakah engkau mengharapkan pahala dari
Allah atau (pujian) dari manusia?”
Ketahuilah bahwa menangis karena takut kepada Allah adalah satu ibadah dari
sekian banyak peribadahan kepada Allah. Jika niatnya karena Allah semata maka
ia akan diterima, akan bersih, akan tumbuh dan akan mendatangkan keberkahan…
Dan jika niatnya bukan karena Allah Ta’ala maka ia akan gugur, sia-sia dan
merugi…
Jangan sekali-kali syaitan melancarkan tipu dayanya kepadamu, kalau anda menyangka bahwa keikhlasan Anda telah sempurna. Ini sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang-orang bodoh di zaman kita sekarang. Jika salah seorang dari mereka mendengar orang yang membicarakan perihal ‘riya (ingin dilihat orang) dan ‘ujub (mengagumi diri sendiri dan merasa diri lebih dari orang lain), maka ia menyangka bahwa dirinya jauh dari hal-hal seperti itu….
Janganlah engkau berprasangka seperti itu. Jika demikian maka engkau seperti
halnya seorang yang sakit, yang menutup-nutupi tempat yang sakit. Lalu ketika
rasa sakit itu hilang (kebal), maka engkau menyangka bahwa engkau telah sembuh
dan penyakitmu telah berhenti. Tidak disadari bahwa penyakitnya benar-benar
telah meminjam tubuhnya….
Ketahuilah –wahai saudaraku- bahwa ikhlas itu mulia…
Seorang Salafush Shalih berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah
ikhlas. Seringkali aku mengerahkan segenap usaha untuk menghilangkan riya’ dari
hati, namun seakan-akan ia tumbuh lagi dalam bentuk yang lain.” Berhati-hatilah,
jangan sampai Anda menjadi orang munafik tanpa Anda sadari, dan berbuat riya’
tanpa anda mengetahuinya.
Inilah al-Hasan al-Bashri, salah seorang dari kalangan Tabi’in yang alim lagi
ahli ibadah, ia berkata kepada dirinya sendiri: “Engkau telah berbicara dengan
pembicaraan orang-orang shalih yang taat lagi rajin beribadah. Akan tetapi
engkau bekelakuan seperti orang fasik yang munafik lagi ingin dilihat orang.
Demi Allah, ini bukanlah sifat orang-orang yang ikhlas.” [Demikianlah perkataan
beliau kepada dirinya sendiri], padahal ia adalah dia [yakni orang yang
terkenal keshalihan, ketaatan dan kesungguhnya dalam beribadah)!
Dan inilah Yusuf bin Asbath, ia berkata, “Aku sama sekali tidak menyangka bahwa
diriku [telah ikhlas]. Justru aku menyangka bahwa diriku adalah orang yang
riya’ tulen.”
Anda harus memperhatikan perkataan seseorang yang dijuluki ‘Abidul Haramain
(ahli ibadah di dua tanah haram), yakni al-Fudhail bin ‘Iyadh mengenai firman
Allah: “Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran
mereka…” (QS. Al-Ahzaab; 8)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Jika para Shiddiqin seperti Isma’il dan ‘Isa
‘alaihi salam ditanya (tentang pelaksanaan tugas mereka), maka bagaimana pula
tentang orang-orang pendusta seperti kita?”
Dengan apa kita mensikapi diri kita?
Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa
yang memurnikan niat dalam menjalankan kebenaran, sekalipun membahayakan
dirinya, maka Allah akan mencukupi (melindungi)nya dari manusia. Barangsiapa
yang menghias diri dengan sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka Allah akan
memburukkannya.
Lalu apa tanda-tanda keikhlasan dalam menangis karena takut kepada Allah?
Pertama: Anda tidak menemukan dalam diri Anda bahwa Anda senang jika ada yang
memuji atau menyanjung Anda atas tangisan Anda karena takut kepada Allah.
Apabila Anda terkena penyakit sehingga Anda mendapati diri Anda menyenangi
pujian atau sanjungan orang lain terhadap Anda, maka cara mengobatinya adalah:
Anda harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini, kemudian jawaban-jawaban
itu harus ditelan dengan air keikhlasan. Pertanyaannya adalah:
- Apakah hamba-hamba Allah itu kelak di hari Kiamat akan memberikan manfaat
kepada Anda?
- Apakah ketika Anda dihadapkan kepada Allah, pujian terhadap Anda itu akan
berdiri bersama dan membela Anda di hadapan Allah?
- Kemudian tahukah Anda behwa terkadang orang yang dipuji oleh manusia pada
kenyataannya termasuk seburuk-buruk manusia di hadapan Allah? Jadi, pujian dari
manusia kepada Allah bukan merupakan suatu ukuran bagi diterimanya ketaatan
Anda kepada Allah. Oleh karena itu, janganlah Anda disibukkan dengan urusan
pujian dari menusia dan sanjungan mereka kepada Allah. Jika demikian maka Anda
akan kelelahan, agama Anda dalam bahaya dan amal anda akan gugur seluruhnya.
Kedua: di hati Anda tidak adaperasaan ‘ujub (mengagumi diri sendiri dan
merasa diri lebih dari orang lain). Terkadang seseorang yang menangis akan
menjauh dari pandangan menusia. Atau ia sengaja menahannya agar tidak dilihat
orang dengan tujuan untuk mendapatkan keikhlasan. Akan tetapi bisa saja terjadi
perasaan ‘ujub menyelinap ke dalam hati. Lalu ia melihat dirinya telah
melakukan suatu perbuatan yang agung.
Apabila penyakit ‘ujub tersebut menimpa Anda, maka obatnya adalah: Anda harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, lalu Anda lakukan apa yang telah
diterangkan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
- Siapakah yag memiliki dan memberikan keutamaan ini kepada Anda?
- Siapakah yang memberi Anda rizki kemuliaan tangisan karena takut kepada-Nya?
- Apakah masuk akal apabila seseorang yang sekedar diberi sesuatu, dan ia tidak
mengusahakan atau membuatnya, tiba-tiba ia mengagumi dirinya sendiri (‘ujub)?
Bukankah yang lebih masuk akal adalah ia segera berterima kasih kepada siapa
yang memberikan sesuatu itu kepadanya berupa karunia dan kenikmatan dari-Nya?
- Kemudian, apakah Anda bisa menjamin bahwa di hari esok Anda masih diberi
karunia dan kenikmatan itu?
- Dan apakah Anda bisa menjamin bahwa nanti Anda dapat konsisten dalam
ketaatan?
- Tahukah Anda, apakah akhir kehidupan Anda akan baik (husnul khaatimah) atau
buruk (suu-ul khaatimah)?
- Apakah masuk akal bila Anda merasa kagum terhadap suatu amal yang Anda
lakukan, sementara Anda sendiri meragukan keberlangsungannya? Kita memohon
kepada Allah ats-Tsabaat (diterapkan dalam iman, Islam dan ketaatan).
Ketiga: Dia hati Anda tidak ada perasaan mengecilkan atau meremehkan orang
lain hanya karena Anda menjadi orang yang melakukansuatu ketaatan di mana
mereka belum mencapai kemuliaan ketaatan tersebut. Jika Anda terkena penyakit
ini –yakni meremehkan orang lain- maka obatnya adalah: Anda harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Tahukah Anda bahwa orang yang Anda remehkan terkadang lebih bertakwa
kepada Allah dibanding Anda, lebih suci hatinya dan lebih bersih amalnya?
- Apakah Anda bisa menjamin bahwa Allah akan menerima ketaatan Anda dalam
menangis karena takut kepada Allah?
- Tahukah Anda, barangkali Allah menerima amal orang yang Anda remehkan lalu
Allah memasukkan ke dalam Surga, sedangkan amal Anda sendiri terkadang tidak
diterima, baik yang fardhu maupun yang sunnah.
Jika Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan ternyata Anda telah
terbebas dari penyaki-penyakit yang menggerogoti keikhlasan, maka janganlah
Anda menyangka bahwa Anda telah benar-benar mewujudkan keikhlasan. Jika Anda
berprasangka demikian, maka Anda bagaikan orang sakit yang berobat, lalu ia
menyangka dirinya telah sembuh.
Hendaknya Anda selalu mencurigai diri Anda sendiri… Berhati-hatilah, jangan
sampai Anda riya’ tanpa Anda sadari bahwa Anda telah berbuat riya’…
Ketahuilah bahwa orang yang mengaku telah benar-benar mewujudkan keikhlasan,
sebenarnya ia adalah pemimpin orang-orang yang riya’. Kita berlindung kepada
Allah darinya
N e r a c a
Sebgian besar ulama salafus salih & generasi awal umat ini adalah orang-orang yang secara materi
termsuk fakir miskin. Mereka tidak memliki harta berlimpah, rumah yang megah, kendaraan yang
bagus & juga pengawal pribadi. Meski demikian, mereka membuat kehidupan lebih bermakna serta membuat
diri mereka & masyarakatnya lebih bahagia. Yang demikian itu, adalah karena mereka senantiasa
memanfaatkan setiap pemberian Allah di jalan yang benar.
Bahkan nabi & rasul Allah pernah menjadi penggembala kambing. Dan meskipun mereka termasuk manusia-manusia pilhan Allah & sebaik-baik manusia, pekerjaan mereka pun tak jauh beda dengan manusia pada umumnya.
Nabi Daud : tukang besi,
Nabi Zakaria : tukang kayu,
Nabi Idris : tukang jahit.
Kita tau bahwa mereka adalah orang-orang pilihan. HARGA DIRI dtentukan oleh
IMAN, TAQWA, Kemampuan, amal salih, kemanfaatan & akhlaq. Usah bersedih dengan wajah
yangg kurang cantik, harta yang tak banyak, anak yang sedikit & rumah yang
tak megah! Asal AQIDAH, IMAN & TAQWA memenuhi diri. Keselamatan di dunia &
akherat bisa diharapkan. Kalaupun kaya, wajah molek, banyak anak & rumahpun
megah, biarlah halalnya pasti juga lebih banyak amal kebaikannya. Menerima
setiap pembagian Allah dengan kerelaan hati.
"Kami telah menentukan anak mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia".(Q.s.Az-Zukhruf:32).
Bersama Allah ajaran, petunjuk & aturanNya dalam menjalani kehidupan. Apalagi yang perlu disedihkan.Usah terlalu risau cari nilai manusia! Ingat
Allah yang menilai kita sesungguhnya. "Setiap orang telah dianugrahkan
oleh Allah dengan hati yang bersih. Namun setiap orang juga akan diracuni oleh
syetan dengan benda-benda maksiat. Bagaimanakah kita hendak mencegah benda ini dari
berlaku? Sebenarnya ia terletak dalam diri kita sendiri..
"Demi masa, Sesungguhnya manusia itu selalu berada dalam kerugian
kecuali orang-orang yang beriman, & beramal salih, serta mentaati kebenaran
& mentaati kesabaran.(Q.s.Al-Asr).
Wallahua'lam...